Banyak Yang Ia Panggil
Namun Sedikit Yang Menanggapi-Nya
Ajific
Boleh dikatakan panggilan itu indah, mengembirakan, membanggakan, baik untuk yang memilikinya maupun orang yang ada di sekitarnya.. Saat kaki melangkah ke depan altar, diiringi lagu penuh semangat dan daya dukungan mengema sampai mengetarkan hati. Tak jarang menetes pelan air mata terhanyut oleh syahdunya syair-syair indah yang mengalun dari bibir-bibir malaikat. Hadir saudara-saudari menatap penuh kebanggaan, senyumnya manis lebih manis dari sebelumnya, wajahnya ceria lebih indah dari sebelumnya. Dan hatipun mengucapkan tiga janji dengan kesadaran penuh damai. Namun siapa menyangka, dalam waktu yang sama di luar sana pakaian biara ada yang telah ditanggalkan. Begitu rapuh dan lemahnya niat itu bersemi, hingga pagi tumbuh dan siang telah layu dan terbakar api.
Kata orang penggilan itu misteri Ilahi, hanya hati yang terpanggil yang mampu menjawabnya. Dimanakah misterinya, tentu di dalam penghayatannya. Ada hati yang terpanggil yang memang dipanggil dengan tanda-tanda sejak kecil dan berakhir hingga tutup usia. Ada hati yang terpanggil karena berjalannya waktu yang mempertemukannya dengan Sang Pemanggil dan bertahan sampai akhir. Ada hati yang merasa terpanggil, maka ia pergi menuju sumber suara yang menurutnya menyebut namanya. Sesampai di depan rumah ia mulai mengetuk pintu, Tuan rumah membukakannya dan bertanya tentang sebuah nama yang jelas bukan dia yang Ia inginkan. Maka ia pergi dengan agak kecewa, namun ia tetap berusaha mencari kesempatan lain untuk berunding dengan Tuan rumah, dan mengutarakan bahwa ia benar-benar ingin menjadi hamban-Nya yang setia. Mendengar ungkapan tulus itu Tuan rumah masyul dan menerima hamba itu, karena banyak orang yang Ia panggil namun sedikit yang menanggapi-Nya dengan serius bahkan ada yang tidak mau mendengarkan suara-Nya. Ada pula hati yang terpanggil dan ia menanggapinya, namun seiring berjalannya waktu ia mulai goyah karena tak menemukan bayang-bayang yang ia cari dan juga tidak kunjung akrab dengan Sang Pemanggil, akhirnya menduakan niat ke pemanggil yang lain tentu dari dunia ini. Pada intinya hati itu telah dipanggil sebelum kejadiannya, namun karena kerapuhan dan kelemahan daging, panggilan itu tak sampai ke hati, namun ia terus menunggu kapan hati itu terbuka untuknya, karena Sang Pemanggil adalah setia.
Wahai hati yang terpanggil mari perjuangkan panggilan yang telah kita miliki. Tidakkah kau tahu, Iblis begitu licik dan kejam terus mencari celah kelemahanmu untuk mencuri panggilan itu. Iblis itu dalam kebusukannya telah menaruh iri padamu, karena kamu menjadi pewaris Kerajaan Surga. Panggilan tanpa perjuangan untuk terus mengembangkannya, memperkuat akar dan batang-batangnya adalah hidup yang tak layak dijalani. Bagaimana cara menumbuhkan dan mengembangkannya tentu tak jauh beda saat kita menanam cabe. Kita biasa menyemainya, menyiapkan lahan untuknya, kemudian menanamnya, menyirami dan memupuknya, namun tak punya kuasa sedikitpun dalam menumbuhkan daun-daunnya, meniup bunganya hingga mekar keluar, menentukan bakal buah mana yang harus gugur dan yang tetap bertahan dan mengecatnya dengan warna merah saat memasuki masa tua. Sebagai manusia kita hanya bisa mengusahakannya dengan cara-cara yang telah kita ketahui dari pengalaman maupun dari orang lain.
Untuk mendapatkan cara yang jitu tak ada yang lain dan bukan, hanya dari Sang Pemanggil sendiri, Dia adalah Tuhan. Menjalin komunikasi yang mesra dengan-Nya, menyisihkan waktu luang khusus untuk bercengkrama dengan-Nya, supaya diri ini memperoleh penghiburan dan kekuatan, tumbuh ikatan batin yang kuat dengan-Nya sehingga hati tidak mudah untuk meninggalkan-Nya sedetik pun. Karena sebenarnya bukan Ia yang meninggalkan saat kita mengalami kekeringan, kesulitan berat, kekosongan iman, namun hati sendiri yang terus menghindar dari Roh-Nya. Ia terus mendekat meski kita menjauh. Ia selalu setia dan penuh cinta. Jangan sekali-sekali merasa mampu berdiri sendiri, karena suatu saat Ia dapat mengambil kemampuan yang ia titipkan, dan kita akan jatuh terkulai seperti pohon kacang panjang dicabut rambatannya.
Engkaulah jiwa yang terpanggil, dan sepatutnyalah jika berjuang dalam panggilan. Berjuang sampai seperti yang telah dialami Sang Pemanggil, hingga tetes darah terakhir, hingga hembusan nafas terakhir. Sebelum ia memanggil Ia sendiri telah memberi teladan bagaimana menjalani sebuah panggilan. Semuanya tertulis rapi di Injil, dan tak jarang kita membacanya, mendengarkannya, namun masalahnya dapatkan tulisan mati itu menjadi sesuatu yang hidup dalam diri kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar