Apa Yang Kau Cari?
ajific
Musim kemarau ini cukup membuat cabe-cabe di kebun Mbah Yetka merangas. Pagi disirami, nanti sore sudah kering, demikian juga ketika sore disirami, besoknya sudah kering lagi dan daun-daun cabe layu. Sepertinya untuk menyirami kebun cabe ini perlu dua kali sehari pagi dan sore. Suatu sore saya di kebun cabe Mbah Yetka yang jaraknya beberapa meter dari rumah, hanya dibatasi tembok dan ada pintu untuk menuju kebun di tembok itu. Saya mulai menyirami, terlebih yang ada di pot, karena cabe-cabe itu layu sampai merunduk ke tanah. Air mengalir dari selang, seperti doaku pagi tadi, menyejukkan dan menguatkan aku di hari ini sehingga tidak layu.
Tak lama saya mendengar suara seperti ayam mengais-ngais, tapi saya sadar mustahil ada ayam di tempat ini karena kebun ini dikelilingi pagar tembok. Suara itu bersumber dari bak sampah besar yang masih di area kebun cabe. Sayapun mulai berpikir, jangan-jangan pemulung atau pencuri yang menyamar menjadi pemulung.
Dengan pelan saya mendekati tempat sampah dan menengok ke dalam. Seorang berbaju putih dengan muka panik sibuk mengais-ngais sampah dengan ranting di tangannya. Ia tersenyum pahit memandang saya. Keringatnya sebesar biji jagung bergelantungan di dahinya.
“Hee…! Cari apa?” kakak pertama melihat saya, dan tersenyum memperlihatkan ruang kosong di deretan gigi depannya.
“Nota!” Katanya serentak. “ Notaku satu bendel hilang. Pasti dibuang Noto. Padahal sudah saya ingatkan jangan sembarangan membuang secarik kertaspun dari kamar saya, tapi tetap saja.” Jawab kakak pertama dengan cuek dan meyakinkan. Ia terus mengais-ngais dengan serius. Debu bekas pembakaran mengepul seperti lebah terusik dari sarangnya.
“Kalaupun dibuang pasti sudah dibakar tukang sampah, ia terlalu rajin sepertinya.” Sela saya, kemudian pergi menyirami cabe lagi. Hari makin gelap dan malam pun tiba.
Di meja makan ketika makam malam, kakak ke dua ngobrol dengan kakak pertama, “Bagaimana, gigimu sudah ketemu belum?”
“Sudah. Sudah!” Jawab kakak pertama tersenyum malu. “Malah sampai saya cari di tempat sampah segala, eh… setelah saya cari di dapur ternyata masih di sana, terbungkus tissue. Awalnya kan saya cuci di dapur.”
“Untung belum digondol anjing.” Sahut kakak yang lain. Mendengar itu, semua tertawa terpingkal-pingkal. He he he ha ha ha hu hu hu!
Saya sendiri langsung teringat kejadian di tempat sampah sore tadi.
“Katanya mencari nota, ternyata mencari gigi tho.” Kata ku sambil tertawa kecil.
“Haa…yang benar?”teriak kakak ke dua.
“Iya!” jawabku serius. “Tadi sore ketika saya menyirami cabe, kakak pertama di bak sampah itu. Saya Tanya, cari apa?, Ia menjawab katanya cari nota satu bendelnya yang hilang.”
Spontan saja semua makhluk di sekitar meja makan itu tertawa terbahak-bahak.Ha..ha…ha…ha… Namun anehnya Kakak pertama juga ikut tertawa memperlihatkan ruang kosong di deretan gigi depannya yang sudah tertutup lagi.
Ketika Tuhan bertanya pada kita, “Apa yang kau cari?” dan kita menyembunyikan maksud dan tujuan yang sebenarnya di balik jawaban yang indah dan putihnya jubah, saat itu juga Dia tersenyum penuh belas kasih, karena sebenarnya Ia tahu. Namun Tuhan akan terus mengetuk hati kita, menawarkan sesuatu di atas yang paling indah dan paling bernilai. Ia akan mengajak kita datang ke rumah-Nya untuk melihat, merasakan, mencoba, hingga kita berubah pikiran dan memilih Dia. Namun saat kita benar-benar mencari Dia, kemana harus mencari?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar